Kata redenominasi belakangan ini banyak berseliweran masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan kita dan banyak yang latah menggaungkannya tanpa paham apa istilah itu maknanya. Bagi yang rajin berkonsultasi ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka akan kecele karena tidak akan menemukan definisi atau contoh penggunaan kata redenominasi itu. Bagi yang paham berbahasa Inggris dan suka bersilancar di dunia-maya untuk berburu pengetahuan akan lebih beruntung karena akan banyak menemukan arti, contoh sampai esai, makalah dan risalah seputar redenominasi.
Secara populer redenominasi itu dapat diartikan sebagai kiat (ekonomi) dalam mengubah pecahan mata uang. Misalnya dari Rp 1000,- menjadi Rp 1.- tanpa mengubah daya beli uang tersebut. Jika semula Rp 1000,- adalah untuk harga sebuah cabe rawit (cengek, cabe-kutu atau lombok-api) maka sesudah redenominasi dilakukan maka harganya adalah Rp 1,- Jika sesudah redenominasi dilakukan kita tak lagi bisa membeli sebuah cengek dengan harga Rp 1,- misalnya menjadi 110 sen maka ini bukan redenominasi murni melainkan sudah menjurus ke devaluasi dan sanering. Secara umum, devaluasi itu adalah penciutan atau penurunan nilai tukar sebuah sistem mata uang terhadap uang asing yang dijadikan acuan atau terhadap nilai logam mulia.
Devaluasi ini serupa dengan sanering (Bahasa Belanda) yaitu menciutkan nilai tukar uang akibat memburuknya situasi ekonomi yang sering ditandai dengan besarnya angka inflasi. Dengan sanering ini maka diharapkan ekonomi yang sakit dan berpotensi kebangkrutan akan pulih bahkan lebih sehat dari semula. Namun banyak risiko yang musti diperhitungkan bahkan ditanggung akibat kebijakan devaluasi ini. Bukan sekedar peluruhan popularitas politik namun dapat berakibat pemakzulan dan perang saudara (domestic war). Devaluasi dan sanering ini bukan cerita baru bagi Indonesia. Berkali-kali krisis ekonomi menerpa Indonesia. Setiap krisis menerpa maka politikus dan ekonom langsung membuka buku-pintar mereka tentang sanering, devaluasi dan redenominasi.
Gunting Sjafruddin : Devaluasi Bersemangat Nasionalis
Nama Syafrudin diambil dari nama Menteri Keuangan Kabinet-II Hatta yaitu Syafrudddin Prawiranegara. Gunting Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi (khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950. Saat itu lembaran uang kertas nominal Rp5,- dan yang lebih besar peninggalan NICA (Nederland Indische Civil Administration) wajib digunting menjadi dua bagian. Bagian kiri dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang absah dengan nilai tukar menjadi setengahnya. Namun terbatas masa waktunya karena sesudah itu wajib ditukarkan ke lembar uang baru di bank. Sedangkan guntingan bagian kanan tidak bisa menjadi alat pembayaran langsung dan wajib ditukar dengan obligasi negara dengan nilai setengahnya dan akan dibayarkan 40 (empat puluh) tahun kemudian dengan mendapatkan bunga bank yang besarnya ditetapkan pemerintah. Gunting sakti ini juga efektif pada uang simpanan di bank. Sedangkan uang pecahan dibawah Rp2.5 tidak kena guntingan. Begitu pula dengan ORI (Oeang Republik Indonesia).
Sungguh sebuah kebijakan non-populis yang berani dan bernuansa nasionalis ! Gebrakan ini dipandang sebagai obat mujarab atas sakit akut yang diderita sistem perekonomian RI kala itu dimana ekonomi terpuruk akibat utang menumpuk, inflasi melejit dan harga komoditas pokok melambung tinggi. Walau kiasannya hanya Gunting Syafruddin tapi ada kebijakan non-populis lain yang merupakan kembaran dari pengguntingan uang yaitu Sertifikat Devisa. Ini dijadikan sebagai senjata pamungkas untuk melawan gempuran barang-barang impor dan sekaligus mendorong upaya ekspor sebagai penghasil devisa. Kebijakan Seritifikat Devisa ini tidak lain “Yes to Export, No to Import”. Caranya adalah dengan memberikan insentif langsung bagi ekportir. Sedangkan importir terkena penalti (dis-incentive) untuk setiap upaya impor. Petani, peternak dan nelayan adalah pelaku-pelaku yang diuntungkan dengan kebijakan fortifikasi pasar domestik melalui kebijakan Sertifikat Devisa ini. Tentu dalam realisasinya dibuatkan metoda sampai fomula kalkulasi ekspor dan impor yang tidak sederhana.
Kebijakan ekstrim yang ditabur ini tentu menuai dukungan sekaligus tentangan. Sjafruddin kokoh bagai karang. Dikatakannya bahwa penerapan kebijakan yang notabene berkategori devaluasi ini akan multi-guna: mengurangi varian uang yang beredar dan masih berbau penjajah, membatasi dan sekaligus menekan laju inflasi, menurunkan harga komoditas pokok dan tentunya memperbaiki arus kas dan kocek pemerintah. Tekanan dan iming-iming untuk tidak menutup keran impor terlalu terlalu keras tak diindahkannya dengan satu pikiran luhur yaitu keberpihakan pada petani, nelayan dan peternak.
Kini kebijakan ini banyak mendapat pujian dan menjadi kasus menarik dalam mata-pelajaran politik-ekonomi. Gunting Sjafruddin bukanlah satu-satunya sanering dan devaluasi yang pernah kita alamai ditanah air. Redenominasi yang pernah dilakukan — Rp1000,- menjadi Rp1,- itu juga mengandung devaluasi. Saat krisis 1998, sanering sudah mengerucut namun urung diterapkan secara kasat mata dan terbuka.
Devaluasi a la Zimbabwe
Masih terngiang gonjang-ganjing tentang keterpurukan ekonomi di Zimbabwe dibawah kepemimpinan Presiden Robert Mugabe. Saat itu banyak yang berseloroh bahwa betapa mudahnya menjadi milyuner disana. Bukan karena mudahnya meraup keuntungan dari bisnis ataupun korupsi semata namun akibat salah-urus makroekonomi. Nilai tukar mata uang merosot tajam. Inflasi meroket. Kerusuhan dipicu unsur SARA juga tak kunjung reda. Gaji pegawai negeri per bulan bernilai puluhan milyar namun jangan terkecoh dengan sebutan milyaran ini karena harga bahan pokok juga bernilai milyaran. Dua milyar hanya untuk selusin telur ayam.
Dengan keberanian luarbiasa Presiden Mugabe menyusun rencana dan menetapkan kebijakan devaluasi besar-besaran bahkan mencatat rekor dunia yaitu menghapuskan 10 (sepuluh) angka nol dari setiap lembar uang yang kemudian dikenal sebagai uang baru yaitu Zimbabwe Dollar (ZWD). Saat inisiatif devaluasi ini digulirkan pada tahun 2002 banyak tentangan, khususnya dari lawan-lawan politik dihadapi President Robert Mugabe. Ada satu kalimat keras yang sempat terlontar dan sekaligus menunjukkan kesungguhan hati dan ketegaran sikapnya yaitu ”Advocates of devaluation are saboteurs and enemies of the state !” — Pihak-pihak yang nyata-nyata menentang kebijakan devaluasi ini adalah tukang sabotase dan jelas-jelas musuh negara ! Kini nominasi uang Zimbabwe tidak lagi membuat repot para akuntan, memakan ruang memori dan menurunkan kemampuan olah data komputer dan tidak menjadi olok-olok dunia. Dampak devaluasi ini positif. Perekonomian Zimbabwe kini tak lagi berada di titik nadir dan perlahan dan pasti merangkak naik.
Redenominasi Uni Eropah dan Korea Utara
Gagasan membentuk Uni Eropah (UE) telah lama digulirkan. Butuh puluhan untuk menjadikan gagasan ini menjadi rencana konkrit yang siap digulirkan. Bagian dari persiapan itu adalah kajian strategis redenominasi mata uang yaitu dari masing-masing mata uang negara-negara anggota UE ke mata uang esa yaitu Euro. Walau sudah dipersiapan puluhan tahun namun niat memiliki mata uang tunggal UE tidak berjalan mulus. Aklamasi semangat dan sepakat menjadi anggota UE namun tidak demikian dalam adopsi Euro. Politik-ekonomi Inggris mendorong mereka teguh menggunakan poundsterling sebagai mata uang nasional walaupun mereka adalah anggota utama UE.
Redenominasi mata uang negara-negara anggota UE ke Euro menjadi catatan sejarah karena merupakan aktivitas redenomiasi terbesar, terbanyak dan serempak. Negara tetangga kita yang baru saja melakukan redenominasi adalah Korea Utara. Jika selama ini kita mengenal Korea Utara sebagai negara yang getol mengembangkan senjata nuklir demi unjuk kemampuan dan bikin keder musuh, kini mereka membuat gebrakan melalui redenominasi yang populer dengan istilah Pyongyang’s Redenomination yaitu menghapuskan 2 (dua) angka nol dalam lembar mata uang mereka. Uang 100 Won menjadi 1 Won. Namun dengan kepemimpinan bergaya diktator, redenominasi ini juga berbau devaluasi. Kebijakan tukar uang won lama ke won baru ada pembatasan ketat. Tidak semua uang won lama dapat ditukarkan menjadi won baru.
Redenominasi bisa memberi banyak untung namun bisa juga bikin kita buntung. Niat mempercantik diri (face-lift, plastic surgery) melalui redenominasi sangat besar biayanya, bukan sekedar cetak uang baru namun sistem keuangan dan perangkat pendukung akan memerlukan perombakan yang makan waktu, energi dan ongkos. Jika tak dipersiapkan dengan matang dan mampu mengantisipasi hal-hal terburuk dan tak terduga maka jangan kaget jika sistem perekonomian kita akan bisa menjadi pasien korban gagal operasi plastik, bukan gagah atau cantik yang menjadi hasil namun Momok Compang-Camping alias The Ugly Monster ! Apalagi jika gagasan redenominasi dijadikan Kuda Troya bagi akal bulus sanering dan devaluasi. Ini bagaikan memberi amunisi ekstra bagi lawan politik. Jika redenominasi ini berhasil maka kita akan kembali mengenal istilah klasik untuk mata uang yang hanya kita dengan dari cerita kakek-nenek-uyut: gobang, picis, benggol, tali, kepeng, kelip, ketip, sen, ringgit dll.
Kusmayanto Kadiman
http://ekonomi.kompasiana.com/group/moneter/2010/08/03/redenominasi-sanering-dan-devaluasi/
Ketika sistem moneter internasional dikaitkan dengan emas, yang pada akhirnya menyebabkan saling ketergantungan di antara sistem mata uang sehingga menjadi jangkar bagi nilai tukar yang tetap (fixed exchange rate) dan menstabilkan inflasi. Ketika sistem Gold Standard hancur, fungsi yang bernilai ini tidak bertahan lama dan dunia terjebak dalam rezim inflasi yang terus menerus. Sistem moneter internasional saat ini tidak mengatur interdepensi (saling mengait) antara berbagai mata uang dan juga tidak menstabilkan harga. Alih-alih mengandalkan keseimbangan yang dihasilkan secara otomatis, AS terpaksa harus "menampar" mitra dagangnya yang mengancam layaknya musuh.
Setelah revolusi di Eropa Timur dan hancurnya komunisme, kita tiba-tiba memiliki 10 negara baru yang masuk dalam sistem moneter internasional, (pecahan Uni Soviet) seluruhnya dengan mata uang yang baru atau kebutuhan baru terhadap kebijakan mata uangnya. Sistem moneter seperti apa yang seharusnya Michel Camdessus (Managing Director IMF saat itu) rekomendasikan kepada negeri-negeri baru itu? Jawabannya akan menjadi nyata sebelum tahun 1971 : masing-masing negara itu mesti menstabilkan mata uangnya terhadap Dollar AS atau terhadap salah satu mata uang yang stabil yang berhadapan dengan Dollar AS yang dikaitkan dengan emas.
Memperbaiki nilai tukar terhadap blok Dollar yang meliputi hampir seluruh ekonomi dunia, telah memberi negara-negara transisi baru yang relatif memiliki tingkat harga yang stabil di antara negara-negara barat. Sekarang saya ingin menunjukkan kontribusi amat penting oleh IMF di antara awal pendiriannya tahun 1946 dan 1971. Pada awal pendiriannyaIMF memberi negara-negara sebuah filosofi manajemen makro ekonomik yang logis berdasarkan nilai tukar tetap atau terkendali (fixed exchange rate). Kesepakatan yang luar biasa ini sekarang diserahkan kepada para pemimpin moneter domestik. Untuk meyakinkan, sebuah negara dapat memperbaiki mata uangnya terhadap salah satu mata uang utama seperti Dollar AS. Pada praktiknya, kebijakan seperti itu memerlukan aksi dari kepemimpinan yang kuat; rencana stabilisasi (inflasi) melibatkan nilai tukar tetap yang diterapkan di Argentina oleh Domingo Cavallo yang menggambarkan betapa jarang kualitas pemimpin sepertinya.
Dalam periode nilai tukar tetap sebelum 1971, kepemimpinan yang kuat tidak diperlukan sebab ada sebuah sistem dimana mayoritas negara mematuhinya dan IMF memiliki seperangkat aspek teknis untuk menerapkannya. Namun setelah tahun 1971 IMF kehilangan sentuhan tersebut ketika beralih dari nilai tukar tetap (terhadap emas) sebelum 1971 menjadi nilai tukar mengambang setelah 1971 dan khususnya setelah 1973, tahun dimana sistem moneter internasional membatalkan nilai tukar tetap beralih ke nilai tukar mengambang.
IMF kemudian bergeser tugasnya sebagai pusat sistem moneter internasional menjadi peran baru sebagai konsultan makroekonomi khusus dan pengawas utang (bahkan broker utang-pent), fungsi yang sebenarnya bisa diperankan dengan baik oleh konsultan swasta. Ketika tantangan dari negara-negara transisi muncul, IMF tidak memiliki sistem yang saling mengait untuk stabilitas moneter untuk menawarkan sistem yang baik dan hampir tanpa pengeculian seringkali konsep yang ditawarkan serampangan. Kegagalan negara transisi dibuktikan dengan fakta bahwa tidak satupun dari negara-negara tersebut di akhir 1996, mampu melampaui tingkat pendapatan sejak masa transisi bermula, dan hanya dengan satu atau dua pengecualian, inflasi kembali mencapai 2 digit. Perbaikan sejak akhir perang dingin sejauh ini lebih memburuk dibanding perbaikan di akhir sebagian besar perang dunia (I dan II) yang amat menghancurkan.
Sistem moneter internasional yang absolut di dunia saat ini tidaklah ada. Setiap negara memiliki sistemnya sendiri. Kebanyakan orang tidak mengerti bagaimana tidak biasanya (unusual) sistem ini. Selama ribuan tahun negara-negara telah mematok mata uang mereka terhadap salah satu logam mulia (emas atau perak) atau terhadap mata uang lain. Tetapi dalam seperempat abad terakhir sejak sistem moneter internasional (bretton woods) hancur, negara-negara mengadopsi sistem moneternya sendiri, fen omena yang tidak memiliki contoh sejarah dalam kerjasama antar negara yang dikenal sebagai sistem moneter internasional.
Para ekonom mengetahui bahwa ketergantungan diantara sistem moneter internasional didukung oleh fakta bahwa keseimbangan neraca pembayaran (suatu negara) saling berhubungan satu sama lain. Apabila satu negara memiliki neraca perdagangan yang surplus maka negara-negara lain memiliki neraca perdagangan yang defisit. Jadi suatu negara bergerak menuju surplus atau defisit yang secara otomatis berpengaruh terhadap negara lain. Ini memiliki pengaruh di dalam sistem nilai tukar mata uang. Di dalam sebuah dunia dari n negara dengan n mata uang, ada n-1 nilai tukar yang independen. Setiap negara tidak dapat menetapkan nilai tukarnya. Akan ada banyak nilai tukar tetap di antara negara-negara. Ada satu derajat bebas (degree of freedom), yang membiarkan kenaikan terhadap apa yang para ekonom menyebutnya dengan (redundancy problem) masalah kelebihan . Aturan dimana tambahan derajat kebebasan untuk memelihara kestabilan harga, atau dalam kasus standar emas (gold standard) adalah memelihara atau menstabilkan harga emas.
Di atas kertas, pengumpulan data hampir 200 negara dengan mata uang tunggal dan nilai tukar mengambang akan menunjukkan hasil berupa kebingungan yang luar biasa. Dalam prakteknya, bagaimanapun juga, sistem ini tidaklah begitu buruk. Ada hubungan yang penting dalam struktur finansial dunia berkenaan dengan konfigurasi kekuatan dalam ekonomi dunia dan aturan khusus yang dijalankan oleh mata uang negara AS. Ketika suatu negara memiliki supereconomy, mata uangnya seringkali memenuhi banyak fungsi dari sebuah mata uang internasional, sebuah judul yang kita coba berangkat dari sini.
Ibnu Siena
Komunitas Dinar & Emas (KDE)
Beberapa hari ini masyarakat menghebohkan rencana Bank Indonesia (BI) untuk meredenominasi rupiah. Pada 18 Mei 2010 lalu rencana ini sebenarnya sudah terbuka kepada publik saat dimulai Penjualan SUN (Surat Utang Negara) Denominasi Rupiah di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tapi, hingar bingar Piala Dunia menenggelamkannya. Yang terasa mengagetkan publik adalah respon Menteri Keuangan, Bpk Agus Martowardoyo, yang menyatakan tidak tahu-menahu rencana BI tersebut. Ada apa ini?
Pelaksanaannya sendiri, tentu saja, menunggu dana hasil penjualan SUN ini. Kenyataan bahwa sumber biaya redenominasi rupiah tersebut adalah hasil utang ini yang seharusnya justru jauh lebih mengejutkan ketimbang reaksi Menteri Keuangan di atas. Sebab, secara politik, BI memang bukan bagian dari Republik Indonesia, dan Gubernur BI (yang beberapa bulan lalu juga kosong) bukan bagian dari Kabinet RI lagi.
Wakil Presiden RI, Bpk Boediono, yang merupakan mantan Gubernur BI terakhir, pun cuma menegaskan: "Bahwa itu adalah kewenangan Bank Indonesia!" Tentu saja. Bukankah BI adalah bagian dari International Monetary Fund (IMF)? Apa yang bisa dibuat oleh Republik Indonesia?
Memahami Redenominasi
Bagi masyarakat pun tidak terlalu penting soal silang sengketa itu, tetapi akibat dari proyek redenominasi itulah yang perlu dimengerti dan diantisipasi. Sebab, masyarakat yang menerima akibatnya, maka masyarakat perlu memahami tindakan yang bisa diambilnya untuk menyelamatkan harta bendanya. Kalau redenominasi itu dilaksanakan, atau selama masa rencana ini, apa yang bisa dilakukan?
Redenominasi merupakan tindakan rekalibrasi mata uang. Langkah ini dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, bukan karena keduanya, melainkan dengan alasan geopolitik tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai negara di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional euro, yang mengharuskan tiap negara pesertanya merekalibrasi mata uang nasional masing-masing. Bila karena inflasi ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu panjang.
Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi mata uang suatu negara dengan cara mengganti currency unit mata uang lama (yang berlaku) dengan mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS. Kalau inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10, 100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu disederhanakan, dan disebut sebagai "penghilangan angka nol".
Nasib Rupiah
Sepanjang umurnya yang 65 tahunan rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde Lama pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde Baru, rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi.
Atas desakan IMF dan Bank Dunia rupiah didevaluasi pada Maret 1983, sebesar 55%, dari Rp 415 per dolar AS menjadi lebih dari Rp 600 per dolar AS. Rupiah, kembali atas tekanan IMF dan Bank Dunia, didevaluasi lagi pada September 1986, sebesar 45%, menjadi sekitar Rp 900 per dolar AS. Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS sebelum 'Krismon' 1997. Nilai rupiah kemudian 'terjun bebas' pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing - lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia - dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 15.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat ini stabil di sekitar Rp 9.200 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?
Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Penghilangan angka nol dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek pengelolaan mata uang dengan angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga dengan nominal yang sangat besar.
Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan sekitar 70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 65 tahun Indonesia merdeka, kita telah dipermiskin sebanyak 175 ribu kali! Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya!
Pilihan Masyarakat: Dinar emas dan Dirham Perak
Lalu adakah pilihan bagi masyarakat? Tentu saja ada. Yakni pilihlah alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi, artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral atau IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk itu adalah dinar emas atau dirham perak, yang kini mulai beredar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kesultanan Kelantan, Malaysia, secara resmi akan me-launch dinar emas dan dirham peraknya pada 2 Ramadhan 1431 H (12 Agustus) ini. Ditargetkan pada Januari 2011 dinar emas dan dirham perak, termasuk yang beredar di Indonesia (www.wakalanusantara.com), akan mulai berlaku sebagai alat tukar internasional, dengan kurs tunggal. Jadi, inilah saat yang tepat bagi masyarakat untuk mengalihkan uang kertasnya menjadi dinar emas dan dirham perak. Alat tukar yang bebas inflasi, dan mustahil diredenominasi!
Catatan: tulisan ini telah dimuat di Harian Republika, 5 Agustus 2010, hal. 4, tetapi bagian terakhir yang sangat penting tidak disertakan.
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
http://wakalanusantara.com/detilurl/Antisipasi.Redenominasi.Rupiah/459/id