Showing posts with label Parenting. Show all posts
Showing posts with label Parenting. Show all posts

Otak anak-anak sampai usia8 - 10 tahun merupakan fase yang paling peka untuk digunakan belajar bahasa. Sesudah itu perkembangan sentrum bahasa pada otak kiri akan berkurang. Hal ini menepis pendapat banyak kalangan bahwa anak yang diajarkan bertutur multibahasa bisa membuat kebingungan dan menyebabkan keterlambatan perkembangan bahasa anak.

Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa kegaguan pada anak bisa disebabkan oleh tantangan multi bahasa. Hal itu sama sekali tidak benar.

Penelitian menunjukkan bahwa jika diajarkan secara benar, belajar multibahasa pada usia dini memacu perkembangan anak secara keseluruhan. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang belajar multibahasa sejak usia dini biasanya lebih sukses dalam kehidupannya karena sudak terbiasa berhubungan dengan bermacam-macam bahasa. Hal ini disebabkan karena bahasa menjadi media komunikasi saat anak menjadi dewasa dan memasuki dunia kerja.

Sejak 1951 UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Selain menambah rasa aman bagi balita, bahasa ibu juga memeihara identitas etnis dan juga meningkatkan kepekaan linguistik. Di seluruh dunia, komunitas yang memakai satu bahasa hanya sekitar 13 persen. Selebihnya, paling tidak menggunakan dua bahasa.

Indonesia tidak termasukdalam kategori 13 persen tersebut. Anak-anak di Indonesia pada umumnya menguasai dua bahasa, yaitu bahasan daerah dan bahasa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kelebihan dan menjadi dasar untuk mempalajari bahasa asing dengan lebih mudah. Namun yang harus diingat adalah konsep dan cara belajarnya harus dilakukan dengan benar.

Jangan dicampur
Bagaimana cara mengajarkan multi bahasa yang baik bagi anak usia dini? Kita perlu menggunakan bahasa yang kita kuasai untuk berbicara dengan anak. Jangan memakai bahasa yang bercampur-campur saat berbicara dengan anak. Misalnya ibu memakai bahasa Indonesia, ayah bahasa Inggris, nenek bahasa daerah, tidak masalah, asal tidak dicampur-campur sehingga anak menjadi bingung. Dalam mempelajari bahasa, anak-anak memahaminya dalam konteks secara keseluruhan dan kadang-kadang tanpa mengerti kosa kata yang digunakan secara detail. Secara intuitif anak belajar mengerti bahasa yang mereka dengar dengan benar sesuai perkembangannya. Prosesnya sama dengan mereka belajar bahasa ibu, yaitu tanpa mengajarkan tata bahasa, kosa kata, dan sebagainya. Dalam mengajarkan bahasa kepada anak, tidak boleh menggunakan dua bahasa dalam satu kalimat. Hal itu dapat membingungkan anak.

Metode immersion
Metode ini banyak diadopsi dalam proses pengajaran multibahasa. Metode ini tidak mementingkan tata bahasa, tapi cara pengertiannya. Bahasa selalu disampaikan dalam konteks. Klimat yang diajarkan dihubungkan dengan perbuatan. Apa yang dituturkan oleh guru dihubungkan dengan gerakan, mimik, maupun bahasa badan yang menunjang tanpa penekanan dalam tata bahasa maupun kosa kata. Cara pengajarannya menggunakan contoh, misalnya dibuatkan bentuk pesawat dari kertas untuk mengenalkan pesawat dalam bahasa yang diajarkan. Hal ini merupakan inti dari metode immerson.Dengan metode ini, anak berlatih bahasa asing tanpa harus menerjemahkanapa yang mereka dengar dan ucapkan.

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam pengajaran bahasa ini adalah dukungan orang tua. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya mengenalkan musik, tarian, atau makanan dari negeri asal bahasa yang dipelajarinya, juga menyediakan buku-buku, video, atau bahan lain dalam bahasa asing. Bahkan jika memungkinkan, orang tua bisa mendorong anak untuk menjalin sahabat pena dengan anak-anak dari negeri asal bahasa yang dipelajarinya. [o]

sumber : REPUBLIKA






Selengkapnya ...

Beberapa orangtua memutarkan musik Mozart untuk bayinya dengan harapan buah hatinya tumbuh menjadi anak yang jenius atau paling tidak memberinya pengalaman ketika mulai bersekolah. Di lain pihak irama musik ternyata juga dapat digunakan untuk melatih kemampuan berbahasa.

Paling tidak inilah pengaruh yang terlihat dari kemampuan para pemusik dalam membedakan lafal ucapan. Para pemusik memiliki kemampuan lebih baik dalam membedakan suara ucapan dibanding selain pemusik. Temuan hasil penelitian ini kemungkinan dapat juga menjelaskan mengapa terapi musik kadang-kadang membantu anak-anak belajar berbahasa dan membaca.

Kemampuan berkata sudah dilatih sejak bayi dari percakapan orang-orang di sekitarnya. Namun, mendengarkan orang bercakap-cakap relatif lebih kompleks dari yang diperkirakan. Otak harus menyusun satu suara tunggal - disebut fonem - yang menyusun kata dengan tepat dan tidak boleh tertukar. Misalnya, membedakan antara ucapan "ba" dan "da" yang hanya berselisih 40 milidetik. Masalah dalam membedakan keduanya merupakan penyebab kesulitan membaca pada anak-anak penderita disleksia. Tapi, penelitian telah menunjukkan bahwa menyanyi dan permainan irama akan memperbaiki cara pengucapan dan kemampuan berbahasa para penderita disleksia.

Itulah yang membuat Gaab dari Massachusetts Institute of Technology di Cambridge penasaran apakah musik dapat meningkatkan kemampuan seorang anak untuk membedakan perubahan suara yang begitu cepat. Ia dan koleganya kemudian mengumpulkan 14 pemusik dewasa yang telah belajar musik sebelum berusia 7 tahun dan terus berlatih paling tidak beberapa jam setiap minggu. Mereka kemudian membandingkan kemampuan membedakan ucapannya dengan 14 orang selain pemusik yang memiliki umur, jenis kelamin, dan kemampuan dasar bahasa yang sama.

Para peneliti memintanya untuk mendengarkan sepasang lafal ucapan yang mirip. Mereka diminta menyatakan apakah keduanya sama atau tidak. Kemudian, kedua lafal ucapan dibuat semakin mirip hingga mereka tidak dapat membedakannya sama sekali.

Kelompok yang menguasai musik ternyata dapat membedakannya dengan lebih baik. Ketika pemusik dan selain pemusik dihadapkan pada sepasang lafal yang hanya berbeda frekuensi, atau disebut pitch, pemusik lebih mahir meskipun selisih waktunya sangat kecil. Mereka dapat mengenali perbedaan jarak antara vokal dan konsonan seperti pengucapan yang sangat mirip misalnya "ka" dan "ga". Saat waktu dan frekuensi dibedakan, misalnya pada perbedaan yang besar seperti "ba" dan "wa", para pemusik jauh lebih baik dalam membedakannya dibandingkan yang bukan pemusik. Latihan tersebut akan meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengkategorikan setiap bentuk ucapan sehingga mungkin inilah yang memperbaiki memori para pemusik. Demikian disampaikan Gaab dalam presentasinya di depan pertemuan Society of Neuroscience.

Ahli ilmu otak (neuroscientist) Robert Zatorre dari McGill University di Montreal, Kanada, menyatakan bahwa kesimpulan ini sangat berarti. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan jenis latihan musik seperti apakah yang mungkin memperbaiki kemampuan berbahasa.

Sumber: http://www.sciencemag.org/


Selengkapnya ...

Sejak tahun 80an dunia pendidikan dan pengasuhan anak telah mengalami revolusi yang sungguh menakjubkan. Hal ini terutama disebabkan karena manusia telah berhasil mempelajari sebagaian besar fungsi-fungsi dan cara kerja otak manusia secara menyeluruh.

Bahkan professor Green Field dari BBC bekerjasama dengan Dr. Henry Marsh dari Atkinson Morley Hospital London, telah berhasil melaksanakan dan meliput sebuah operasi pembedahan otak dimana batok kepala si pasien di buka dan otaknya dapat dilihat dan dipelajari dalam keadaan hidup. Pada saat pembedaan tersebut si pasien sendiri dalam keadaan sadar dan dapat diajak berbicara. Sebuah cara penelitian yang Luar Biasa...!

Selain itu masih banyak lagi peneliti lain yang juga melakukan riset mendalam mengenai fungsi-fungsi kerja otak manusia. Salah satu yang paling terkenal adalah Prof. Marian Diamond, dari University of California, Berkeley. Diamond diberi kepercayaan untuk membedah otak Einstein.

Ternyata beberapa fakta dan temuan ilmiah dari penelitian otak tersebut telah berhasil mengubah pandangan-pandangan mengenai mitos yang berkembang seputar otak dan kecerdasan manusia.

Dahulu sebagian besar orang percaya bahwa cerdas itu bersumber dari faktor keturunan; sementara fakta membuktikan bahwa perkembangan kecerdasan lebih disebabkan oleh perkembangan sel-sel syaraf otak yang dipicu oleh lingkungan yang kaya akan rangsangan pembelajaran dan makanan yang banyak mengandung omega 3.

Dahulu orang percaya bahwa Cerdas adalah anugerah Tuhan hanya pada anak-anak tertentu, sementara fakta membuktikan bahwa setiap anak terlahir memiliki jumlah sel otak yang lebih kurang sama. Sementara lingkunganlah yang menentukan perkembangan otak anak selanjutnya.

Gardner juga menemukan bukti bahwa masing-masing orang memiliki struktur simpul yang berbeda-beda pada otaknya, dimana masing-masing simpul ini berhubungan dengan kemampuan-kemampuan yang bersifat khusus; yang oleh kebanyakan orang disebut sebagai potensi bakat/talenta. Oleh karenanya setiap orang pada dasarnya memiliki keunggulan unik sesuai dengan struktur simpul pada otaknya masing-masing.

Dahulu Jenius dipahami hanya milik orang-orang tertentu; ada juga yang beranggapan sebagai bentuk kelainan yang positif. Sementara fakta menunjukkan bahwa sesungguhnya setiap anak sudah dilengkapi dengan Softwere untuk dapat menjadikannya sebagai Jenius. Softwere tersebut sering diistilahkan sebagai The Highly Order Thinking atau Cara Berpikir Tingkat Tinggi. Siapapun orangnya yang berhasil mengoptimalkan kerja softwere ini sejak usia dini hingga dewasa maka dapat dipastikan ia akan bisa menjadi orang yang Jenius atau paling tidak akan menjadi orang yang sangat kreatif.

Demikian pula dengan proses mendidik dan mengasuh anak; Para peneliti telah menemukan bahwa otak manusia terdiri atas tiga susunan yakni otak Reptil, Otak Mamalia dan Otak Neo Kortex. Otak Reptil berfungsi untuk mengatur sistem otomasi tubuh dan pertahanan; seperti mengatur suhu tubuh, detak jantung juga pertahanan yakni melawan atau menghindar. Otak Mamalia berfungsi mengatur pergerakan Emosi, apakah itu mengarah kepada emosi Positif atau ke arah Negatif. Sementara otak Neo Kortex berfungsi untuk proses berpikir Kreatif dan Logika.
Temuan yang fenomenal adalah Bahwa Reaksi manusia ditentukan oleh otak mana yang bekerja atara Otak Reptil atau Otak Berpikir, Kedua Otak ini hanya bisa bekerja secara bergantian, tergantung reaksi emosi mana yang diterimanya; Apa bila reaksi emosi yang diterimanya bersifat negatif, maka secara otomatis akan mengaktifkan otak reptil dan apa bila reaksinya cenderung positif maka otak berpikirnyalah yang aktif.

Yang perlu diingat adalah Apa bila dari peristiwa yang dialami telah menimbulkan emosi yang negatif hal ini akan memicu aktifnya otak reptil, jika yang aktif adalah otak reptil maka reaksi seseorang juga akan mirip seperti binatang reptil. Jadi apa bila selama ini reaksi anak anda ada yang kira-kira mirip seperti reptil seperti memukul, membentak, membanting dsb, jangan-jangan selama ini anda telah sering menekan emosinya hingga otak reptilnya sangat aktif.

Sementara para ahli juga menemukan bahwa manusia, baru dapat berpikir dan belajar pada saat Berpikirnya aktif. Jadi apa bila kita ingin seseorang dapat berpikir dan belajar kita harus berusaha mengaktifkan Otak Berpikirnya dengan cara menimbulkan emosi-emosi positif.

Berangkat dari temuan inilah para ahli mencoba menyusun ulang pola pendidikan dan pola asuh orang tua pada anak-anaknya, agar dari setiap proses interaksi menghasilkan reaksi emosi positif yang membangkitkan otak berpikirnya bukan malah otak reptilnya seperti yang kebanyakan terjadi saat ini.

Demikian juga dalam proses belajar mengajar; para ahli semakin yakin bahwa metode pembelajaran itu harus meliputi pemahaman lahir dan bathin; menyenangkan dan penuh tantangan.

Revolusi dibidang ilmu pendidikan dan pengajaran menemukan bahwa cara-cara belajar yang menimbulkan tekanan fisik dan psikologis pada siswa seperti Strap, PR/Tugas-tugas yang berlebihan dan sebagainya tidaklah cocok digunakan untuk sistem pembelajaran manusia.

Demikianlah ilmu pengetahuan telah berkembang begitu cepatnya dari bulan-kebulan dan dari tahun-ketahun. Sudah saatnya kita para orang tua dan pendidik untuk terus memperkaya diri dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan agar bisa menjadi yang terdepan dan terbaik dalam mendidik dan membesarkan anak-anak kita........

sumber : Ayahedy

Selengkapnya ...

Anak-anak jaman sekarang tentu berbeda dengan anak-anak jaman dulu. Hai ni adalah sesuatu yang sangat wajar dan alami. Namun demikian, walaupun kita sangat menyadari hal ini, terkadang kita para orang tua tidak sepenuhnya bisa menerima. Bagaimana kita menyikapi hal ini?

Dalam mendidik anak-anak kita, umumnya para orang tua tidak menyadari bahwa kita salah. Di mata kita , anak-anak kitalah yang penuh dengan kesalahan. Kita punya persepsi-persepsi, dugaan-dugaan yang bersumber dari masa lalu kita, pengalaman kita, yang kita akui itu sebagai sumber kebenaran. Begitu hal itu tidak terjadi pada anak kita, maka dengan segera kita mengatakan bahwa anak kita salah. Inilah yang disebut dengan sudut pandang. Inilah sebenarnya kunci dari persoalan ini. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menempatkan sudut pandang secara tepat dalam melihat anak, karena sebagian besar orang tua melakukan kesalahan dalam menempatkan sudut pandang. Namum umumnya orang tua tidak menyadari hal ini.

Beberapa sudut pandang yang keliru dalam memahami anak :

1. Selalu menilai anak dalam konteks hitam putih

Kita dan anak-anak kita jelas berbeda dalam berbagai hal, dan kita sepakat bahwa hal itu adalah fitrah. Kesalahan yang sering dilakukan orang tua adalah melihat anak hanya dalam konteks hitam putih. Padahal sebenarnya mereka adalah berwarna warni. Salah satu contohnya, orang tua sering membandingkan anaknya dengan mengatakan : "anak saya yang pertama sih pintar, nilainya bagus-bagus, tapi kalo yang nomor dua kayaknya agak kurang". Ini adalah sebuah pemahaman yang sifatnya hitam-putih, pintar-bodoh, malas-rajin, dan sebagainya. Padahal kalau mau jujur, kita sendiri pun sebenarnya tidak mau hanya dilihat dan dibanding-bandingkan secara hitam-putih. Jadi, mulai sekarang janganlah melihat perbedaan anak-anak kita secara hitam putih, tapi mulailah memahami bahwa sebenarnya anak kita adalah warna-warni. Dengan demikian kita akan melihat sesuatu yang sangat indah dalam diri anak-anak kita.

Sayangnya, sekolah-sekolah kita pun umumnya masih menggunakan pandangan hitam-putih. Jadi kalau misalnya cara belajar di sekolah itu menggunakan cara tertentu, siswa yang kesulitan menggunakan cara itu langsung dianggap bermasalah.

2. Orang tua merasa selalu paling benar

Pada umumnya kita orang tua selalu merasa bahwa, dibanding anak-anak kita, kitalah lebih berpengalaman, sudah makan asam garam, karena kita hidupnya lebih lama, dsb, sehingga kita punya asumsi yang kita anggap benar bahwa orang tua itu selalu benar dan tidak pernah salah. Akhirnya kita orang tua memiliki asumsi-asumsi mengenai benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya. Hal tersebut adalah wajar, namun akan menjadi masalah manakala kita mengangggap bahwa apa yang baik bagi kita, kita anggap baik juga buat anak kita. Satu contoh kecil, misalnya kita mengatakan kepada anak kita : "dulu jaman ayah sekolah dulu, nggak ada yang namanya diantar-jemput. Ayah jalan kaki berkilo-kilo meter ke sekolah. Nggak seperti anak sekarang...". Maksudnya adalah kita ingin menunjukkan kehebatan di jaman kita. Sebenarnya tugas kita adalah bukan untuk membandingkan jamam kita dengan jaman anak kita untuk menunjukkan bahwa kita lebih baik, lebih superior, supaya anak kita bisa mencontoh hal yang baik. Ternyata hal itu tidak pernah bisa berhasil. Apalagi kalau kita sampai punya anggapan bahwa jaman kita dulu lebih baik dari jaman anak kita. Yang harus kita lakukan adalah memahami keadaan jaman anak kita.

3. Anak tidak bisa dididik

Kesalahan terakhir adalah merasa bahwa anak kita tidak bisa dididik. Padahal sebenarnya ada beberapa kemungkinan mengenai hal ini. Bisa saja kita orang tua yang tidak bisa mendidik, atau kita belum menemukan cara yang pas untuk mendidik. Jadi jangan sampai kita hanya terfokus pada satu sisi saja bahwa anak kita susah dididik, tapi cobalah kita juga mengevaluasi diri, jangan-jangan kita yang tidak bisa mendidik.

Bila kita perhatikan dalam ajaran semua agama, tidak ada yang mengajarkan bahwa anak itu bermasalah. Yang ada adalah anak itu suci, fitrah, berkah dari surga, dan sebagainya. Sehingga kalau pada akhirnya mereka menjadi benar-benar bermasalah, maka kita harus bertanya pada diri kita siapa yang menyebabkannya menjadi bermasalah? Apakah anak kita yang tidak bisa dididik, atau kita orang tua yang tidak bisa mendidik?

Bagaimana menurut anda?


Referensi : ayah edy


Selengkapnya ...

Banyak orang tua yang mengeluh bahwa mendidik anak jaman sekarang itu tidak gampang, bahkan dirasakan jauh lebih sulit dari pada mendidik anak-anak jaman dulu. Hal ini tidak sepenuhnya salah, walaupun sebenarnya setiap masa itu ada tantangannya sendiri2 sesuai jamannya. Mendidik anak di jaman sekarang ini memang bisa dibilang gampang, bisa juga tidak. Faktanya memang anak jaman sekarang pasti berbeda dengan anak jaman dulu. Beda dalam segala hal. Jadi kita tidak bisa begitu saja membandingkan keadaan kita dulu sewaktu dididik oleh orang tua kita dengan anak-anak kita jaman sekarang.

Setidaknya ada 3 perbedaan pokok anak-anak jaman sekarang dibandingkan dengan anak-anak generasi terdahulu :

Kemampuan Berpikir

Anak-anak jaman sekarang pada umumnya memiliki kemampuan berpikir yang lebih kritis dalam usia yang lebih awal. Mereka berkembang dalam jaman yang memberi mereka banyak keleluasaan dan stimulasi yang jauh lebih banyak, sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang seperti itu. Mengapa kita perlu mengetahui hal ini? Yaitu agar kita siap menghadapinya. Karena sebagian orang tua yang tidak siap menjadikan hal ini sebagai suatu kesulitan. Akhirnya yang muncul adalah pemikiran negatif terhadap anak, misalnya dibilang anaknya suka berdebat, nggak mau kalah, pandai berargumentasi, dan sebagainya. Padahal itu semua adalah hal-hal positif yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir anak itu sangat bagus.

Cara Pandang

Anak-anank jaman sekarang seringkali memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita, sehingga pada akhirnya mereka sering beradu argumentasi dengan orangtuanya. Kita para orang tua umumnya terbiasa pada pola pendidikan tradisi yang polanya yang sudah terbentuk. Mungkin mirip seperti kacamata kuda. Misalnya setiap ada persoalan A jawabnya pasti B, persoalan C jawabnya D dan seterusnya. Anak-anak kita tidak lagi berpikir demikian. Mereka kalau melihat sebuah persoalan bisa luas sekali analisisnya. Hal ini sering kali membuat orang tua menjadi tersinggung karena seolah-olah merasa digurui. Orang tua selama ini selalu punya tradisi pemikiaran bahwa mereka selalu lebih dibanding anak-anak kita, dan kita kaget ketika melihat anak-anak kita ternyata punya argumentasi yang jauh lebih luas sudut pandangnya. Ini perlu kita sadari supaya kita siap, dan bersyukur karena memiliki anak-anak dengan wawasan yang luar biasa. Bukannya malah kita merasa dipermalukan atau merasa direndahkan, atau merasa dipandang bodoh oleh anak kita. Justru kita harus bangga memiliki anak-anak seperti itu.

Keberanian untuk Mengungkapkan Pendapat

Ada sebuah pergesaran tradisi pada anak-anak generasi sekarang. Kalau dulu pada umumnya kita takut-takut untuk mengungkapkan pandapat, terutama kepada orang tua. Mungkin karena bangsa kita lama dijajah, maka budaya yang berkembang adalah budaya otoriter. Akhirnya budaya ini terbawa sampai ke rumah tangga sehingga orangtua memiliki otoritas yang luar biasa terhadap anaknya dalam banyak hal : dalam menyatakan pendapat, dalam mengambil keputusan, dal sebagainya. Sehingga ketika si anak memiliki argumentasi, maka ia akan lebih memilih untuk diam. Itu semua terjadi pada jaman kita dulu ketika dididik oleh orang tua kita. Jaman anak-anak kita sekarang ini tidak lagi seperti ini. Kita mulai melihat ada pemberontakan-pemberontakan kepada gurunya di sekolah. Padahal jaman kita dulu, kepatuhah kepada guru itu luar biasa. Hal ini menjadikan sebuah generasi yang patuh. Padahal di dalam kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan adalah kreatifitas, penuh daya cipta, penuh argumentasi, punya car pandang yang luas, dan sebagainya. Jadi sebenarnya anak-anak kiat sekarang ini sedang menuju kepada kondisi yang sesuai dengan kebutuhan jamannya. Cuma karena kita dulu dibesarkan di jaman yang berbeda dan kita sering membandingkan dengan cara kita dididik dulu, maka kita sering kali "menahan" perkembangan anak-anak kita untuk tidak ke arah seperti itu. Hal ini terjadi karena kita sering kali punya kebiasaan untuk membandingkan anak-anak kita dengan kita di jaman dulu. Harus kita ingat bahwa anak-anak kita telah tumbuh sesuai dengan kebutuhan jamannya.tugas kita adalah membimbing mereka supaya tidak salah jalan. Mereka sebenarnya telah berjalan ke arah yang sesuai. Kita para orang tua harus mulai belajar untuk menerima perbedaan-perbedaan ini.

Apa yang membuat anak-anak kita menjadi begitu berbeda?

Kita para orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita, tapi sering kali kita tidak mau menerima efeknya, bahkan ketika kita tahu bahwa efeknya adalah positif. Kenapa anak-anak kita berbeda? Menurut sebuah penelitian, diantara penyebannya adalah :

Perkembangan Teknologi Media

Perkembangan teknologi media yang sangat pesat sekarang ini akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Coba bandingkan dengan kondisi jaman kita dulu : belum ada internet, stasiun TV cuma satu, nulis surat harus dikirim lewat pos, perlu waktu. Sekarang beragam informasi bisa diakses dengan demikian cepat.

Pola Makan

Saat ini makanan untuk pertumbuhan dan perkambangan anak begitu beragam. Jauh berbeda dengan generasi kita dulu. Susu untuk anak saja sudah dibedakan menurut usianya. Komposisi gizinya sudah jauh lebih baik dibandingkan jaman dulu. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap perkambangan struktur syaraf-syarafnya termasuk syaraf otaknya. Tentunya hal ini akan sangat berpangaruh terhadap cara berpikirnya.

Budaya

Setiap generasi memiliki budaya yang berkembang. Kita lihat misalnya dari jenis musiknya tentu sangat berbeda. Jaman simbah kita dulu musiknya keroncong, jaman kita dulu musik pop, jaman sekarang hip-hop. Mau tidak mmau kita harus memahami perkembangan budaya yang mempengaruhi perkembangan anak kita. Yang perlu kita perhatikan adalah sisi moralnya. Bukannya kita melarang hip-hopnya tapi kita harus perhatikan sisi moralnya, karena nilai moral itu tidak pernah berubah dari jaman ke jaman. Yang berubah adalah budayanya.

Setelah memahami hal-hal ini sudah selayaknya kita para orang tua bersyukur karena anak-anak kita telah berkembang melebihi jaman kita dulu.

Di dunia pendidikan sekaran ini telah terjadi perubahan yang sangat besar mengenai proses mendidik anak. Dulu orang menerjemahkan proses mendidik adalah membuat anak kita menjadi sesuai seperti keinginan kita. Buktinya, sering kali kita mendengar orang tua berkata : saya ingin anak saya pintar, saya ingin anak saya rajin, dan sebagainya. Konsep pendidikan yang baru telah berubah. Yang disebut mendidik itu adalah membimbing anak sesuai dengan keinginan Allah. Allah pasti telah menyiapkan misi khusus untuk anak kita ketika mereka dilahirkan. Kalau dulu tugas orang tua adalah menetapkan keinginannya supaya diikuti oleh anaknya, maka sekarang tugas orang tua itu adalah membaca tanda-tanda keinginan Allah pada diri anak kita. Pada setiap anak, tanda-tanda itu pasti berbeda-beda. Kalau kita tidak bisa membaca tanda-tanda itu, dan memaksakan keinginan kita kepada semua anak-anak kita, tentu akan menimbulkan konflik antara orang tua dan anak.

(besambung)

Sumber : radiotalk ayah edy


baca berita di lintas berita

Selengkapnya ...

Pernahkan anda mendapati radio yang tiba-tiba rusak/ ngadat, yang kadang bunyi kadang tidak? Apa yang biasanya kita lakukan? Jawabannya mungkin hampir serupa : biasanya kita akan spontan memukul-mukulnya denga harapan radio itu akan normal kembali. Masalahnya, bila hal itu yang kita lakukan terus menerus, apakah radio itu akan bertambah baik atau malah sebaliknya? Biasanya bila radionya sudah benar-benar parah atau malah mati, barulah kita membawanya ke tukang service rado untuk dicari penyebab kerusakannya dan kalau bisa diperbaiki. Pertanyaannya, mengapa kita suka memukul-mukul radio rusak agar bisa bunyi kembali? Ada berbagai macam jawaban untuk pertanyaan itu, diantaranya :

1. Karena tidak tahu penyebab kerusakannya.
2. Ingin cara yang mudah dan cepat.
3. Terbawa emosi dan rasa kesal karena hal itu terjadi berulang-ulang.
4. Tidak ingin repot-repot mencari penyebab masalah dan menemukan solusinya.

Tanpa kita sadari banyak orang tua yang sering memperlakukan anaknya yang bemasalah seperti memperlakukan radio rusak. Kemudian setelah si anak tidak dapat diperbaiki lagi dikirimlah ia ke tempat-tempat penampungan, tempat rehabilitasi, tempat pembinaan remaja bermasalah, atau bahkan mungkin harus berakhir di lembaga pemasyarakatan.
Mengapa orang tua sering berlaku seperti itu? Jawabannya pun hampir serupa :
1. Orang tua tidak tahu mengapa anaknya berperilaku buruk.
2. Setiap orang tua umumnya ingin cara cepat dan mudah untuk mengatasi perilaku anaknya yang dianggap menyimpang.
3. Orang tua melakukannya karena terdorong emosi dan rasa marah.
4. Tidak banyak orang tua yang mau bersusah payah untuk belajar menemukan masalah dan mencari solusinya.

Fenomena ini sering kali terjadi terhadap anak-anak kita, baik kita sadari maupun tidak. Orang tua serign kali memukul anaknya yang dianggap sedang "ngadat", baik menggunakan kata-kata yang kasar, maupun menggunakan tangan secara fisik. Sebagian orang tua cenderung memilih cara yang mudah dan cepat dalam menyelesaikan konflik dengan anaknya. Hal itu akan memberikan reaksi ”seolah-olah” anak kita menjadi lebih baik. Tetapi lama kelamaan hal ini akan memupuk sebuah tekanan kejiwaan bagi anak yang akan berujung kepada sebuah perlawanan si anak terhadap orang tuanya.

Alangkah sedihnya anak-anak kita bila orang tua terus menerus memperlaukan meraka seperti radio rusak. Coba bayangkan bila cara ini dilakukan terus menerus terhadap anak-anak kita, mau seperti apa masa depan mereka kelak. Bukankah anak merupakan perwujudan cinta kasih kedua orang tuanya? Anak kita adalah permata yang tak ternilai harganya. Anak kita adalah titipan Allah yangharus kita pelihara dan kita didik dengan sepenuh cinta dan kasih sayang. Tapi betapa teganya kita bila memperlakukan anak-anak kita seperti benda yang tidak berharga yang siap dilempar ke gudang atau bahkan ke tong sampah. Orang tua sudah seharusnya belajar mengelola / mendidik anak-anak kita sebagaimana mestinya sehingga tidak terjadi lagi fenomena radio rusak yang selama ini banyak kita temui.

Sumber : radiotalk ayah edy


Selengkapnya ...

KREATIVITAS dapat dipupuk dan dibentuk dalam lingkungan yang mendukung. Apalagi setiap anak dilahirkan dengan bakat kreatif.

Tokoh-tokoh di bidang seni, banyak yang mengakui sebagai orang yang kreatif. Siapa yang tidak kenal lagu-lagu ciptaan Melly Goeslaw yang orisinal atau lukisan karya Basuki Abdullah yang diakui seluruh dunia.

Namun, kreativitas tidak hanya terbatas pada seni. Kreativitas merupakan sikap yang tak hanya melibatkan pola pikir melainkan kemampuan anak menyelesaikan masalah. Tengoklah betapa Thomas Alva Edisson pencipta lampu pijar yang jatuh bangun mempertahankan ide dan kreativitasnya. Sementara orang lain mencemooh betapa konyol hal yang ia kerjakan. Kreatif tak hanya memiliki dan menjalankan ide, juga mampu mencari keunggulan dari kreativitas itu.

Irma Gustiana Andriani MPsi dari LPTUI mengatakan, sikap kreatif bisa muncul karena dua faktor, yaitu secara genetik, ada bakat kreatif atau bisa dirangsang dari lingkungannya. Ciri anak kreatif adalah anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar, selalu bertanya dan tidak pernah puas dengan jawaban yang diberikan.

"Selain itu, mereka juga mempunyai minat yang tinggi dalam membaca sehingga pengetahuannya lebih luas, selalu aktif, cenderung percaya diri, dan cepat tanggap merupakan ciri lainnya. Mereka juga mempunyai banyak ide yang terkadang agak aneh," sebut Irma.

Saat ini banyak permainan dan kelompok belajar yang dapat mengasah kreativitas anak. Karena itu, anak diharapkan dapat mengeluarkan seluruh kebiasaannya dan dapat belajar dari lingkungannya. Seperti yang dikatakan seorang pendidik kenamaan dari Inggris, Arthur J Cropley, tak seorang pun yang tidak memiliki kreativitas karena jika demikian sama seperti tidak memiliki kepintaran sama sekali.

"Tidak kreatif berarti anak tidak berpikir dan tidak melakukan apa-apa. Sebab itu, sangat kecil kemungkinannya orangtua tak mampu membentuk kreativitas anak," ujar Cropley.

Di sisi lain, banyak juga anak yang mengalami kesulitan dalam mengembangkan daya kreativitasnya karena tidak adanya media untuk menyalurkannya maupun kurangnya perhatian orangtua.

Pola pengajaran di sekolah juga sebaiknya jangan terlalu menekan atau bahkan membatasi anak dalam mengeksplorasi dirinya sehingga membuat mereka merasa apa yang dikemukakan selalu salah. "Padahal, dengan selalu memberikan kebebasan, daya kreativitas mereka semakin terasah," tegas Irma.

Rangsangan yang bersifat motorik bisa dilakukan agar anak menjadi pribadi yang kreatif dan mampu menangkap segala apa yang dilihat dan dirasakannya. Pada umur 2-3 tahun daya tangkap anak sudah baik. Karena itu, sudah bisa diajarkan permainan-permainan yang lebih kompleks. Sebagai orangtua, menyediakan media sebagai tempat untuk anak bermain dan bereksplorasi untuk menyalurkan kreativitasnya adalah suatu kewajiban.

Hal senada diungkapkan Prof Dr SC Utami Munandar, dalam bukunya, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Pada saat anak berusia 1-4,5 tahun adalah masa puncak kreativitas anak. Pada saat inilah anak mudah menyerap dan mengembangkan hal-hal baru yang ia dapat. Sel-sel otak si kecil yang sedang berkembang pesat sangat membantunya untuk menyerap pengetahuan baru yang ia peroleh.

"Namun, tentu saja tetap dibutuhkan peran lingkungan untuk bisa mengoptimalkannya. Karena itulah stimulasi yang diberikan orangtua sangat diperlukan," ujar Utami.
(sindo//tty)  [okezone]

Selengkapnya ...